Senin, 03 Maret 2014

Meluruskan Niat ke Tanah Suci

Menjelang berangkat ke tanah suci, sebaiknya kita bertanya kepada diri sendiri: niat apakah yang melandasi kepergian kita berhaji? Realitasnya, ternyata sangat beragam. Mulai dari yang berhaji karena ‘tidak sengaja’ diajak saudara atau penugasan kerja, ingin dapat predikat dan penghargaan masyarakat, sampai kepada yang memang ingin beribadah menyempurnakan kualitas jiwanya disana.

Apakah tidak boleh kita memiliki background niat yang bermacam-macam seperti itu? Ooh, boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Tetapi, ternyata Allah mengajarkan di dalam Al Qur’an agar kita meluruskan niat dalam menjalani ibadah ini. Justru, dikarenakan beragamnya niatan orang-orang yang datang dari segala penjuru Bumi itu.

QS. Al Baqarah (2): 196
Wa atimmul  hajja wal ‘umrota lillaah...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh(mu) karena Allah semata...

Kata ‘menyempurnakan’ dalam ayat itu mengindikasikan adanya berbagai macam niat dalam beribadah haji. Termasuk niat untuk sambil berdagang atau bekerja yang memang diperbolehkan oleh Allah, sebagaimana diinformasikan dalam ayat-ayat sesudahnya. Tetapi, ketika ritual haji sudah dimulai, semuanya harus meluruskan niat untuk hanya beribadah kepada Allah semata. Banyak-banyak berdzikir mengingat Allah.

QS. Al Baqarah (2): 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu (berniaga di musim haji). Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam (sebanyak-banyaknya). Dan berdzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang tersesat.

Bahkan anjuran untuk menyempurnakan niat itu berlaku juga bagi mereka yang meniatkan ibadah, tetapi belum sempurna ‘karena Allah’. Banyak peribadatan sepanjang haji itu yang bisa menjebak kita untuk ‘tidak karena Allah’. Sehingga membuat ibadah kita kurang sempurna.

Seorang kawan ketika ditanya tentang niatnya beribadah haji menjawab begini: ‘’Saya ingin berdoa di tanah suci agar masalah yang menghimpit hidup saya cepat teratasi.’’ Sebuah niat ibadah yang cukup baik, tetapi bisa menurunkan kesempurnaan haji jika ‘meleset’ dalam persepsi. Mirip dengan seseorang yang menjalankan shalat Dhuha karena ingin dapat rezeki, atau melakukan puasa karena ingin lulus ujian.

Yang begini ini, jika tidak kita sadari, bisa menjebak kita ke dalam praktek ibadah yang bukan karena Allah semata. Tetapi, dikarenakan rezeki dan lulus ujian. Jangan. Ibadah mesti ‘lillaahi ta’ala’ – hanya karena Allah semata. Bahwa, setelah itu kita menjadi dekat dengan Allah, dan segala macam masalah hidup teratasi dengan baik, itu adalah ‘bonus’ dari perilaku yang benar di jalan Allah.

Niatan dan persepsi yang salah dalam berdoa di tanah suci itulah yang lantas melahirkan berbagai praktek yang keliru pula. Sehingga banyak orang yang ‘titip doa’ kepada saudara atau sahabatnya yang sedang menunaikan ibadah haji, agar dibacakan di depan Kakbah. Mereka beranggapan doa yang dibacakan di tempat mustajab itu pasti terkabul, tidak sebagaimana kalau mereka panjatkan di tanah air. Apalagi ada yang menambahkan dengan kalimat begini: ‘’Ya Allah, kami sudah bertahun-tahun berdoa di tanah air belum juga Engkau kabulkan, kini kami datang ke rumah-Mu untuk berdoa agar Engkau penuhi...’’

Rupanya si jamaah haji atau orang yang titip doa itu mengira Allah berada di dalam Kakbah. Mungkin karena tempat suci itu disebut sebagai Baitullah alias ‘Rumah Allah’. Sedangkan di tanah air ia merasa jauh dari Allah, sehingga doanya tidak mustajab. Tentu saja yang begini ini berselisihan dengani ajaran Al Qur’an yang mengatakan bahwa Allah itu sudah sangat dekat – lebih dekat dari urat leher kita sendiri – dan Dia akan mengabulkan doa orang-orang yang memang bermohon kepada-Nya dimana pun ia berada, selama ia melakukannya dengan benar.

QS. Al Baqarah (2): 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia (memang) bermohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman (hanya) kepada-Ku, agar mereka berada di dalam kebenaran.

Berhaji harus meluruskan niat karena Allah semata. Di tanah suci itulah kita sedang ‘bertamu’ kepada-Nya untuk berburu hikmah dalam menyempurnakan kualitas jiwa. Meningkatkan spiritualitas menuju kesempurnaan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Meniru keikhlasan keluarga Nabi Ibrahim yang hanif (lurus) dalam bertauhid hanya kepada-Nya...

QS. An Nahl (16): 120-122
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (ia pandai) mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.

Walahu a’lam bishshawab.

sumber: http://m.facebook.com/notes/agus-mustofa/tasawuf-haji-5/10151075424041837/?p=10

0 comments:

Posting Komentar